Selasa, 08 Desember 2009

blogging, dramatize my life

Dulu saya melihat blog teman yang dilink dari friendsternya lalu beberapa kali saya pun melihatnya yang dilink dari facebooknya. Karena tidak ingin dibilang ketinggalan zaman, saya pun langsung membuat blog, ya, hanya membuatnya tanpa saya tindaklanjuti. Kebetulan di kampus ada LK yang mengadakan seminar tentang blog, saya pun mengikutinya karena saya rasa seminar ini bermanfaat. Lama setelah itu, tidak hanya melihatnya, saya pun banyak membaca poin-poin penting dari blog itu. Lalu timbullah niat untuk menulis di blog, hanya niat, tidak ada rencana untuk mewujudkannya karena saya tidak tahu apa yang akan ditulis. Pada awalnya saya berpikir, karena blog itu bisa diakses oleh semua orang, maka tulisan yang dipost harus baik, bagus, berkualitas karena akan menyangkut kualitas kemampuan menulis dan berdampak pada penilaian orang terhadap kita. Pada saat itu saya berpikir mungkin saya harus menulis mengenai topik yang sepertinya bila saya membahas topik itu, orang-orang yang membacanya akan menilai kalau saya itu berkualitas, tidak nora, anak zaman sekarang banget. Lama setelah itu, saya menonton suatu episode serial “angel’s diary” di tv dan dalam serial itu, si pemain utama menjadikan blog sebagai diary-nya. Serial itu memeberikan inspirasi, tetapi saya sempat berpikir “alay-kah seorang lelaki dewasa apabila menulis diary?” dan pada saat itu saya pun belum menemukan jawabannya sampai pada suatu saat saya mengikuti belajar bareng di rumah teman. Tepatnya adalah minta diajarin karena dosen yang mengajari saya diberi silabus yang salah oleh lembaga. Sehingga saya minta diajarkan oleh teman saya yang silabusnya benar. Setelah belajar selesai kami sempat berbincang-bincang, entah dari mana awalnya, dalam perbincangan itu kami membahas ayah dari salah satu teman kami uang sedang menonton pertandingan bola lalu datang semua anak perempuannya (tidak memiliki anak laki-laki) beserta istrinya yang tiba-tiba merebut remote tv dari tangan suaminya lalu memindahkan channelnya ke acara sinetron, lalu menyuruh suaminya untuk menonton di rumah tetangganya saja. Lalu si suami pergi ke kamarnya. Dari situ kami berandai-andai, “gimana kalo di kamarnya dia mencurahkan semua kekesalannya lewat buku diary”,”terus nulisnya sambil tiduran kaya Angel di serial angel’s diary”,”terus sambil nangis”, “terus nulisnya; dear diary.,hari ini aku kesel banget soalnya bla bla bla..”, “terus aku (teman saya) dateng ke kamarnya dan ketauan sama aku, aku bakal illfeel banget sama papa aku”. Dari becandaan itu saya tahu kalo memang alay jika lelaki menulis diary. Tetapi, lama setelah itu, saya melihat blog teman saya, seorang lelaki, yang dalam blognya dia mempost sebuah tulisan semacam diary yang mengungkapkan kisah yang dialaminya pada suatu hari, tetapi menurut saya tulisan itu berbeda dengan diary-nya seorang wanita. Memang semacam diary tetapi tidak alay dan wajar bagi lelaki. Mungkin karena bukan tentang cinta atau, sekalipun tentang cinta, dia mencurahkan isi hatinya tidak berlebihan. Pokoknya beda, tapi saya tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata mengenai perbedaannya secara pasti. Pokoknya beda. Dari situlah saya merubah pandangan mengenai diary. Bahwa seorang lelaki sah-sah saja mengisi blog-nya dengan tulisan diary, tepatnya semacam diary, asalkan berbeda dengan diary-nya wanita. Dan dari situ pula saya mulai memikirkan isi blog saya yang menurut saya pasti akan terisi minimal dengan kisah sehari-hari tanpa memikirkan bagus, berkualitas, tidak nora, anak zaman sekarang banget, tidak alay atau apapun yang akan menyangkut image saya, yang penting tulisan yang saya post di blog ini bisa saya jadikan sebagai media untuk belajar menulis. Lalu saya mengingat semua kejadian yang telah atau sedang saya alami dan memikirkan bagaimana mengungkapkannya dalam tulisan yang nantinya akan di-post ke blog. Tetapi entah mengapa, kejadian itu secara natural saya dramatisir dan, tidak hanya kejadian saya bayangkan, saya pun seperti mendramatisir suasana yang sedang saya alami. Seperti harus membuat menarik kejadian yang telah dan sedang saya alami sehingga akan memperindah tulisan saya. “What’s wrong?”, “what happen?”. Exactly, I don’t understand. Mungkin gaya menulis saya belum natural seperti ada tuntutan kalau tulisan saya harus begini atau begitu karena masih memikirkan dampak dari tulisan saya buat. Biarlah, mungkin hal itu dapat perlahan menghilang secara alami sehingga tulisan saya pun akan lebih jujur dan berkualitas.

Tidak ada komentar: